PENDIDIKAN ENTREPRENEURSHIP

Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa “pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara”.

Demikian bunyi Pasal 1 BAB I Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003. Betapa nyaris sempurnanya rumusan tersebut, namun secara empiris sering kita jumpai seorang pembelajar (siswa, mahasiswa) mengalami kesulitan dalam memahami suatu pengetahuan tertentu, apalagi untuk berkembang secara mandiri  melalui penemuan dan proses berpikirnya.

Dalam situasi masyarakat yang selalu berubah, idealnya pendidikan tidak hanya berorientasi pada masa lalu dan masa kini, tetapi sudah seharusnya merupakan proses yang mengantisipasi dan membicarakan masa depan. Setelah lulus SMA/SMK ataupun setelah lulus Pendidikan Tinggi, lalu mau apa dan bagaimana sanggup eksis di masyarakat?

Sudah saatnya pendidikan hendaknya melihat jauh ke depan dan memikirkan apa yang akan dihadapi peserta didik di masa yang akan datang. Bahwa pendidikan yang efektif adalah pendidikan yang tidak hanya mempersiapkan peserta didiknya untuk suatu profesi atau jabatan, tetapi mampu menghasilkan seseorang sanggup menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapinya dalam kehidupan sehari-hari.

Santernya berita yang membuat miris kita semua adalah meningkatnya jumlah pengangguran terdidik, baik yang nyata-nyata maupun yang terselubung di Indonesia dari tahun ke tahun. Data (Kompas, 19 Pebruari 2010) pengangguran terdidik meningkat menjadi sekitar dua juta orang. Sebuah angka yang sangat mengkhawatirkan, karena jumlah lulusan tidak diimbangi dengan jumlah lapangan pekerjaan yang tersedia. Kalau boleh penulis ibaratkan: ‘jumlah lapangan kerja baru bertambahnya seperti deret hitung, sementara jumlah lulusan membludak seperti deret ukur’, jadi mana mungkin bisa ketemu?

Mencermati kenyataan di lapangan, yang dimaksud dengan bekerja oleh orang kebanyakan (awam) adalah: seseorang ke luar rumah/berangkat bekerja dari pagi sampai sore atau dari sore sampai malam atau juga dari malam sampai pagi lagi, di suatu tempat tertentu, mengikatkan diri pada perusahaan tertentu, mendapat upah tiap hari/mingguan/bulanan dan sebagainya.

Belum lagi masih kentalnya anggapan bahwa menjadi Pegawai Negeri (PNS/ABRI) adalah suatu prestasi yang sangat membanggakan. Alasannya cukup spele, yakni aman dan dapat pensiun di hari tua. Mental pegawai (ambtenaar) belum pupus sekalipun Indonesia sudah merdeka 65 tahun silam. Di sini sampailah kita waktunya untuk menjawab pertanyaan ‘mengapa?’ (why?).

Indonesia adalah negara yang kaya sumber daya alamnya (dibanding negara lain, seperti: Malaysia, Singapura, Hongkong, dan lain-lain), tetapi sangat sedikit orang yang mampu mengubah kekayaan alam itu menjadi kesejahteraan. Susahnya mengubah pola pikir seseorang, padahal semua yang ada di dunia ini pastinya berubah dan hanya satu yang tidak pernah berubah, yakni perubahan itu sendiri!!!

Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang sebagian besar adalah perempuan, kebanyakan mengerjakan pekerjaan non formal, baik di negeri sendiri maupun di negeri orang, sepertinya mereka rela menekuni pekerjaan “3D” (Dirty, Difficult, Dongerous). Ini bisa terjadi antara lain karena setelah lulus mereka ‘harus mencari kerja’, syukur menemukan, tapi apalah artinya hasil pendidikan yang telah ditekuninya selama bertahun-tahun jika akhirnya harus menjalani pekerjaan yang ‘asal kerja’. Apakah hal ini akan terus kita biarkan?

Demi masa depan anak bangsa, marilah kita giat memicu dan memacu serta menyebarluaskan semangat kewirausahaan (entrepreneurship). Dan penulis boleh berlega hati karena pemerintah memberi tanggapan positif dan merencanakan kurikulum entrepreneurship mulai tahun pelajaran 2010-2011 (yang sudah di depan mata). Dengan didasari keyakinan bahwa bangsa Indonesia akan maju jika banyak orang berjiwa dan bersemangat wirausaha. Artinya tidak harus bekerja dengan modal ‘otot’ saja melainkan bermodalkan ‘otak’, sebab otot lama kelamaan akan turun seiring dengan bertambahnya usia seseorang, sedangkan otak makin digunakan makin ‘tajam’.

Begitu pentingnya mental entrepreneur itu. Istilah entrepreneur berasal dari bahasa Perancis entreprendre, yang artinya mengambil langkah memasuki sebuah aktivitas tertentu atau sebuah enterprise, atau menyambut tantangan. Menghadapi tantangan itu sudah barang tentu mengandung resiko, hidup memang penuh resiko, hidup dan resiko adalah satu kesatuan, kita tidak bisa memilih hidup nyaman-nyaman saja dan menghindari resiko, apalagi terlena dalam zona nyaman (comfort zone)!.

Di dalam pengertian yang asli dari kata entrepreneur di dapat tiga hal yang penting, yaitu creativity-innovation, opportunity-creation, dan calculated risk-taking. Tiga unsur inilah yang utama ada di semua entrepreneur manapun. Berani mati itu gampang tapi berani hidup itu sulit!!! Bukan berarti hidup itu selalu penuh kesulitan, tetapi bisa mengubah rintangan/halangan menjadi peluang itu memang perlu keuletan (Adversity Quotient (AQ), artinya ketahanmalangan).

Orang bisa menjadi entrepreneur karena ‘3L’, yakni: Lahir, Lingkungan, Latihan (terus-menerus). Entrepreneur adalah orang yang mampu melihat dan menangkap peluang bisnis (+) faktor genetik dan entrepreneurship bisa dipelajari melalui sistem manajemen stratejik, karena menjadi entrepreneur juga perlu memiliki managerial skill. Untuk bisa menjadi entrepreneur sejati, maka harus dibangun leadership dan untuk bisa menjadi leader yang mumpuni maka harus membangun learning cultureself transformation, demikian ungkapan seorang entrepreneur handal, bapak Sudhamek AWS, CEO Garuda Food Group pada acara Kuliah Umum di FKIP UKI tanggal 9 April 2010.

Kata pendidikan lebih luas maknanya dibanding kata pengajaran, karena pendidikan yang berhasil akan mengubah perilaku, dan perilaku akan mengubah karakter, dan karakter berbangsa menciptakan budaya bangsa, dan budaya bangsa menciptakan peradaban bangsa. Dengan demikian, kita akan memasuki peradaban baru di negeri Indonesia tercinta, yakni peradaban yang bisa menciptakan lapangan kerja bagi diri sendiri, mulai dari pendidikan. Kalau sementara orang menganggap bahwa pendidikan entrepreneurship diartikan sebagai pelajaran mengenai berdagang, itu makna yang terlalu sempit, karena pada hakikatnya pendidikan entrepreneurship adalah sebuah tindakan kreatif, inovatif dan sportif, serta dapat diterima publik.

Pendidikan entrepreneurship tidak harus menambah kurikulum, akan tetapi justru memberi keragaman pendidikan yang kontekstual dan dapat dipraktekkan dalam kehidupan nyata sehari-hari, sehingga mempunyai nilai tambah (added value) baik dari sisi pengetahuan maupun sisi nilai sosial ekonomi. Peserta didik yang dibekali pendidikan entrepreneurship tumbuh kecerdasannya, keterampilannya, intelektualnya, mempunyai banyak gagasan, mampu berkomunikasi yang dapat meyakinkan orang lain, sehingga ruh sebagaimana dimaksudkan oleh UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 terjawab.

Oleh karena itu sebaiknya Pendidikan Entrepreneurship, baik yang tersirat maupun yang tersurat (formal – non formal – informal) sudah harus dimulai sejak dini sampai ke jenjang pendidikan tinggi dan bahkan sepanjang hayat. Pembiasaan dan pelatihan yang terus-menerus akan mendatangkan kepiawaian seseorang untuk berpotensi menjadi penemu dan pemecah masalah (problem finder and problem solver), dan akhirnya memiliki hidup yang bermanfaat.

 

Jakarta, 12 Juli 2010

E. Handayani Tyas.

This entry was posted in Uncategorized. Bookmark the permalink.

Leave a comment